IDENTIFIKASI SEKUNDER MEDIK (Refrat Forensik)
REFRAT
FORENSIK
IDENTIFIKASI SEKUNDER MEDIK
KEPANITERAAN
KLINIK ILMU FORENSIK MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET/
RSUD
DR MUWARDI
Surakarta
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
Identifikasi forensik merupakan upaya
yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan suatu masalah dalam
kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan tepat amat
penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam
proses peradilan.1
Identifikasi mayat yang masih
utuh dan baru tidak akan memberi kesukaran, identifikasi tidak berbeda dengan
orang hidup, yaitu dari: foto, sidik jari, ciri tubuh dan benda milik pribadi
seperti pakaian, cincin kawin, SIM, KTP. Identifikasi demikian adalah pekerjaan
penyidik.1
Umumnya,
korban yang membutuhkan keahlian dokter gigi forensik adalah korban yang hangus
terbakar dan mengalami pembusukan tingkat lanjut yang sulit untuk dikenali dan
tidak dapat dilakukan identifikasi melalui pemeriksaan konvensional lainnya.
Identifikasi tersebut penting sekali dilakukan terhadap korban meninggal massal
karena merupakan perwujudan HAM dan penghormatan terhadap orang yang sudah
meninggal, serta untuk menentukan seseorang secara hukum apakah masih hidup
atau sudah meninggal. Selain itu juga berkaitan dengan masalah pemberian
santunan, warisan, asuransi, pensiun, maupun pengurusan pernikahan kembali bagi
pasangan yang ditinggalkan. Identifikasi tersebut dapat dilakukan secara
visual, gigi-geligi, pemeriksaan medis, antropomeri, sidik jari, dan DNA. Sidik
jari, gigi-geligi dan DNA merupakan ukuran identifikasi primer (primery
identifiers), sedang visual, antropomeri dan pemeriksaan medis merupakan ukuran
identifikasi sekunder (secondary identifiers).2
BAB
II
ISI
Setelah dilakukannya identfikasi
primer diperlukan juga dilakukan identifikasi sekunder untuk menguatkan hasil
identifikasi primer mengenali idenritas pasien, salah satunya adalah identifikasi
sekunder medis. Metode ini menggunakan data tinggi badan, beerat badan, warna
rambut, warna mata, cacat/kelainan khusus, tatu (rajah). Secara singkat, bisa
dikatakan bahwa ciri-ciri fisik korban yang diperhatikan. Metode ini mempunyai
nilai yang tinggi, karena selain dilakukan oleh tenaga ahli dengan menggunakan
berbagai cara atau modifikasi (termasuk pemeriksaan dengan sinar X, USG,
CT-scan, laparoskopi, dll. bila diperlukan), sehingga ketepatannya cukup
tinggi. Bahkan pada kasus penemuan tengkorak/kerangka pun masih dapat dilakukan
metode identifikasi ini. Melalui metode ini, dapat diperoleh data tentang jenis
kelamin, ras, perkiraan umur, tinggi badan, kelainan pada tulang, dan data-data
lainnya dari korban yang ditemukan. 3,4
Identifikasi
dapat dilakukan antara lain :
- Ras
Penetuan ras dapat
dilakukan melalui pemeriksaan terhadap tengkorak, sudut intercondylus dan
tulang panjang :
1) Tengkorak : tengkorak dapat memberikan gambaran yang dapat diandalkan
mengenai karakteristik tertentu dari nenek moyang suatu populasi.
2) Sudut intercondylus : menetukan ras dari sudut intercondylus dapat
digunakan bila yang tersisa hanya kerangka saja. Metode ini memerlukan
penempatan distal femur pada posisi lateral.
3) Tulang panjang : pada ras kulit hitam, tibia relatif lebih panjang
daripada femur dan radius relatif lebih panjang daripada ulna. Pada populasi
kulit putih dan mongoloid, femur lebih melengkung ke anterior bila dibandingkan
dengan populasi kulit hitam. Femur ras kulit hitam cenderung lebih lurus.
b. Jenis kelamin
Pada umumnya penentuan
jenis kelamin pada orang hidup tidaklah sukar. Hanya dari penampilan wajah,
potongan tubuh, bentuk rambut, pakaian serta ciri-ciri seks dan pertumbuhan
buah dada, kita sudah bisa mengenali apakah orang tersebut laki-laki atau
perempuan. Hanya pada kasus-kasus khusus yang jarang terjadi, diperlukan
pemeriksaan mikroskopik dari ovarium dan testis.
c Tinggi badan
Tinggi badan merupakan
persamaan linear dari berbagai tulang panjang, yaitu humerus, femur, radius dan
tibia dengan rumusan Trotter dan Gleser, Stevenson, Karl pearson, Dupertus dan
Hadden. Kepentingan pengukuran tinggi badan dari tulang panjang adalah penting
pada keadaan tubuh yang sudah terpotong atau yang didapatkan rangka atau
sebagian tulang. Perkiraan tinggi badan dengan pengukuran tulang panjang :
Tulang lengan atas 35 persen dari tinggi
badan. tulang paha 27 persen dari tinggi badan, tulang kering 22 persen dari
tinggi badan dan tulang belakang 35 persen dari tinggi badan.
d. Umur
Biasanya pemeriksaan dari
os pubis, sacroiliaka joint, arthritis pada spinal dan pemeriksaan mikroskopis
dari tulang dan gigi memberikan informasi yang mendekati perkiraan umur. Untuk
memperkirakan usia, bagian yang berbeda dari rangka lebih berguna untuk
menetukan perkiraan usia pada range usia yang berbeda. Range usia meliputi usia
perianal, neonatus, bayi dan anak kecil, usia kanak-kanak lanjut, usia remaja,
dewasa muda dan dewasa tua.
Umur dalam 3 tahapan :
1) Bayi
baru dilahirkan : neonatus, bayi yang belum mempunyai gigi, sangat sulit untuk
menentukan usianya karena pengaruh proses pengembangan yang berbeda pada
masing-masing individu. Pembentukan gigi sering digunakan untuk memperkirakan
usia. Pembentukan gigi permanen sangat menentukan usia/indikatornya.
2) Anak dan dewasa sampai umur 30 tahun : Masa kanak-kanak lanjut dimulai
saat gigi permanen mulai tumbuh. Semakin banyak tulang yang mulai mengeras.
Masa remaja menunjukkan pertumbuhan tulang panjang dan penyatuan pada ujungnya.
Penyatuan ini merupakan teknik yang berguna dalam penentuan usia. Masing-masing
epifisis akan menyatu pada diafisis pada usia-usia tertentu. Dewasa muda dan
dewasa tua mempunyai metode-metode yang berbeda dalam penentuan usia. Penutupan
sutura cranium, morfologi dari ujung iga, permukaan aurikula dan simfisis
pubis, struktur mikro dari tulang dan gigi.
Persambungan
speno-oksipital terjadi pada umur 17-25 tahun. Tulang selangka merupakan tulang
panjang terakhir unifikasi. Unifikasi dimulai umur 18-25. Unifikasi lengkap
pada usia 25-30 tahun, usia lebih dari 31 tahun sudah lengkap. Tulang belakang
sebelum usia 30 tahun menunjukkan alur yang dalam dan radier pada permukaan
atas dan bawah.
3. Dewasa > 30 tahun :sutura kranium perlahan-lahan menyatu.
Morfologi pada ujung iga berubah sesuai dengan umur. Iga berhubungan dengan
sternum melalui tulang rawan. Ujung iga saat mulai terbentuk tulang rawan
awalnya berbentuk datar, namun selama proses penuaan ujung iga mulai menjadi
kasar dan tulang rawan mulai menjadi berbintik-bintik. Iregularitas dari ujung
iga mulai ditemukan saat usia menua.
Pemeriksaan tengkorak : pemeriksaan sutura,
penutupan tubula interna mendahului eksterna. Sutura sagitalis, koronarius dan
lambdoideus mulai menutup umur 20-30 tahun. Sutura parieto-mastoid dan
aquamaeus usia 25-35 tahun tertutup, tapi dapat tetap terbuka sebagian pada
umur 60 tahun. Sutura spheno-parietal umumnya tidak akan menutup sampai umur 70
tahun.4
BAB
III
SIMPULAN
Identifikasi sekunder medis sangat besar artinya bagi
dunia kedokteran terutama kedokteran kehakiman, karena bisa sangat mendukung
hasil dari identifikasi primer yang
telah dilakukan. Meskipun identifikasi sekunder medis seperti berat badan,
tinggi badan, ras, jenis kelamin masih bersifat sangat luas, namun hasilnya bisa sangata mendukung identifikasi
primer. pada orang
lain meskipun pada kembar monozygote maupun orang yang sama dijumpai perbedaan
pola pada tangan kanan dan kiri
REFERENSI
1. Amir,
Amri. Identifikasi pada Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, edisi kedua, Medan:
Ramadhan, 2008. Hal 178-203.
2.
Budiyanto, Arif, dkk. 1997.
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Idris
A.M. Identifikasi pada Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, edisi pertama,
Jakarta: Binarupa Aksara, 1997. Hal 31-52.
4.
Prawestiningtyas, Eriko dan
Algozi,
Agus Mochammad. Identifikasi
Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan
Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 2009.
Komentar